Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang berhasil mendaratkan
pasukannya di pulau Jawa di tiga tempat sekaligus, yaitu teluk Banten, Eretan
Wetan (Jawa Barat), dan Kranggan (Jawa Tengah).[1]
Keadaan ini memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda Van Starkenborgh
Stachouwer, menyerah tanpa syarat terhadap tentara Jepang pimpinan Letnan
Jenderal Hitoshi Imamura dalam sebuah pertemuan di Kalijati tanggal 8 Maret
1942.[2]
Pertemuan ini mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda dan menempatkan Jepang
sebagai penguasa baru atas Indonesia. Hak-hak kekuasaan ini memungkinkan Jepang
membagi wilayah Indonesia dalam tiga komando, yaitu tentara ke-16 di pulau Jawa
dan Madura yang berpusat di Batavia, tentara ke-25 di Sumatera yang berpusat di
Bukit Tinggi dan armada selatan ke-2 di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua Barat yang berpusat di Makassar.[3]
Tentara
angkatan ke-16 pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura diberikan mandat untuk
memegang kekuasaan di wilayah Jawa. Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah
yang secara politik paling maju namun secara ekonomi kurang penting, sumber
dayanya yang utama adalah manusia.[4]
Hal ini memang sangat dibutuhkan oleh Jepang, mengingat niat awal mereka untuk
menduduki kawasan Asia Tenggara adalah membangun Kawasan Persemakmuran Bersama
Asia Raya.
Pada awal kedatangannya Jepang disambut baik oleh
orang-orang Jawa yang beranggapan bahwa kedatangan tentara Jepang sesuai dengan
ramalan Joyoboyo.[5] Oleh sebab itu, ketika tentara
Jepang mendirikan pemerintahan militernya orang-orang Jawa menerimanya dengan
sukarela. Di samping itu, bagian propaganda (Sendenbu)[6]
Jepang telah pula melakukan aksinya dengan pelbagai macam pendekatan terhadap
rakyat, diantaranya; mendirikan Gerakan Tiga A dengan slogannya yang terkenal:
Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Saudara Asia; mengangkat
orang-orang pribumi dalam pelbagai pemerintahan yang prinsip turun-temurunnya
dihapuskan; menetapkan wilayah-wilayah voorstenlanden sebagai kochi
(daerah istimewa). Maksudnya agar tentara Jepang yang mendirikan pemerintah
militernya dapat diterima oleh penduduk pribumi. Tujuan utama pendudukan Jepang
di Jawa adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian peninggalan
pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan
rencana-rencananya bagi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan
Tenggara.[7]
Tujuan utama ini mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah militer untuk
menghapuskan pengaruh-pengaruh barat di kalangan rakyat Jawa dan memobilisasi
rakyat Jawa demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya.[8]
Sejak membentuk pemerintahan
militernya, Jepang membuat banyak sekali perubahan dalam bidang pemerintahan.
Perubahan tersebut terjadi di tingkat atas maupun di tingkat bawah. Tanggal 1
Agustus 1942, saat dikeluarkannya undang-undang perubahan tata pemerintahan di
Jawa, Jepang menetapkan bahwa seluruh daerah di Jawa dibagi menjadi Syu,
Si, Ken, Gun, Son, dan Ku, kecuali Surakarta
dan Yogyakarta yang ditetapkan sebagai kooti (kerajaan) dan
Batavia sebagai Tokubetsu Si (ibukota pemerintah militer). Pembagian
pulau Jawa atas provinsi-provinsi juga dihapuskan.
Sejarah Jepang masuk ke Indonesia, khususnya ketika menduduki Pulau Jawa tahun
1942-1945 telah membawa banyak perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan Jawa
di masa berikutnya. Periode ini merupakan salah satu bagian dari perjalanan
penting sejarah besar bangsa ini untuk melangkah ke masa depan. Masa ini telah
terjadi berbagai perubahan yang mendasar pada alam sendi-sendi kehidupan
masyarakat Indonesia. Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengah
tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat tetapi akibat yang
diterima oleh masyarakat sebanding dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya
dengan jangka waktu yang lebih lama.[9]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar