Berdasarkan Konvensi London tahun 1814, pemerintah Belanda berkuasa
kembali atas wilayah Indonesia meskipun kondisi ekonomi negara Belanda
masih sangat lemah karena kas keuangannya dalam keadaan kosong. Lemahnya
perekonomian pemerintah Belanda pada saat itu disebabkan oleh banyaknya
utang negara Belanda terhadap luar negeri dan besarnya pengeluaran
biaya perang di Eropa maupun di beberapa daerah Indonesia.
Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah Belanda untuk menutup
kekosongan kas keuangan negara, satu di antaranya adalah dengan
menerapkan aturan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia. Istilah tanam paksa berasal dari Bahasa Belanda, yaitu Cultuurstelsel
(sistem penanaman atau aturan tanam paksa). Pencetus ide tanam paksa
dan sekaligus pelaksana aturan tanam paksa di Indonesia adalah Johannes
Van Den Bosch yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia
Belanda.
Isi Aturan Tanam Paksa
Adapun isi aturan tanam paksa adalah sebagai berikut:
1). Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2). Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultturstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
3). Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan
bekerja di perusahaan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik
pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
4). Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan.
5). Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat.
6). Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena
kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan
ditanggung oleh pemerintah Belanda.
7). Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa.
Pelaksanaan Aturan Tanam Paksa
Pelaksanaan aturan tanam paksa sudah dimulai pada tahun 1830 dan
mencapai puncak perkembangannya hingga tahun 1850, yaitu ditandai dengan
hasil tanam paksa mampu mencapai jumlah tertinggi. Dengan demikian,
keuntungan tinggi dapat diperoleh pemerintah Belanda dari pelaksanaan
aturan tanam paksa.
Tekanan-tekanan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat
Indonesia dalam upaya mencari keuntungan dari pelaksanaan aturan tanam
paksa tersebut mulai menurun akibat adanya berbagai kritikan tajam
terhadap pemerintah Belanda yang dipandang sangat keji dan tidak
berperikemanusiaan.
Pada tahun 1860, sistem tanam paksa yang diberlakukan untuk menanam lada
dihapuskan dan pada tahun 1865 menyusul dihapuskan untuk menanam nila
dan teh. Berlanjut hingga tahun 1870, hampir semua jenis tanaman yang
ditanam untuk tanam paksa dihapuskan, kecuali tanaman kopi. Akhirnya,
pada tahun 1917, tanaman kopi yang diwajibkan untuk ditanam bagi rakyat
di daerah Priangan juga dihapuskan.